Lp Askap Morbili / Campak Pada Anak Aplinasi NANDA NIC NOC

A. DEFINISI
Morbili adalah penyakit infeksi virus akut yang ditandai oleh tiga stadium yaitu stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalensi (Suriadi & Rita Yuliani, 2010).
Morbili adalah penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh infeksi virus umumnya menyerang anak yang ditandai dengan 3 stadium yaitu kataral (prodomal), erupsi, dan konvalensi. (Nurarif & Kusuma, 2015).

lp askep morbili atau campak pada anak


Campak adalah penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh infeksi virus umumnya menyerang anak. Campak memiliki gejala klinis khas yaitu terdiri dari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus: (1) stadium masa tunas berlangsung kira-kira 10-12 hari. (2) stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan peradangan mukosa konjungtiva, dan (3) stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan dan kaki. Ruam timbul didahului dengan suhu badan yang meningkat, selanjutnya ruam menjadi menghitam dan mengelupas. (Sumarmo, 2015).
Kesimpulannya, morbili atau campak adalah penyakit infeksi virus yang sangat menular dengan ditandai dengan 3 stadium: Stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalensi.

B. ETIOLOGI
Virus morbili yang berasal dari secret saluran pernafasan, darah, dan urine dari orang yang terinfeksi. Penyebaran infeksi melalui kontak langsung dengan droplet dari orang yang terinfeksi. Masa inkubasi selama 10-20 hari, dimana periode yang sangat menular adalah hari pertama hingga hari ke 4setelah timbulnya rash (pada umumnya pada stadium kataral) (Suriati & Rita, 2010).
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus Morbilivirus, family Paramyxoviridae. Virus ini dari family yang sama dengan virus parainfluenza, virus human metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus).
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA tunggal yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki 6 struktur protein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan virus ke sel penderita. Protein F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M (Matrix) di permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam penyatuan virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP (Nucleoprotein), dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P berperan dalam aktivitas polimerasi RNA virus, sedangkan protein NP berperan sebagai struktur protein nucleocapsid. Karena virus campak dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga dapat diinaktivasi dengan suhu panas (>37oC), suhu dingin (<20oC), sinar ultraviolet serta kadar (pH) ekstrim (pH <5 dan >10). Virus ini jangka hidupnya pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam (Soegijanto, 2011).

C. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit campak terdiri dari 3 stadium:
1. Stadium kataral (prodromal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis, dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul bercak Koplik. Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira hari ke3 atau 4 dari masa prodromal dapat meluas sampai seluruh mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza.
2. Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya timbul adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk macula-papula disertai dengan naiknya suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bengkak. Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.
3. Stadium konvalensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan UI, 1985)

D. EPIDEMIOLOGI
Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapatkekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga bayi dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita morbili maka bayi yang dilahirkannya tidak mempunyai kekebalan terhadap morbili dan dapat menderita penyakit ini setelah ia dilahirkan. Bila seorang wanita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus: bila ia menderita morbili pada trimester 1, kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

E. PATOFISIOLOGI
Penyebab campak adalah measles virus (MV), genus virus morbili, familiparamyxoviridae. Virus ini menjadi tidak aktif bila terkena panas, sinar, pH asam, ether, dan trypsin dan hanya bertahan kurang dari 2 jam di udara terbuka. Virus campak ditularkan lewat droplet, menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Virus ini masuk melalui saluran pernafasan terutama bagian atas, juga kemungkinan melalui kelenjar air mata.
Dua sampai tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak.
Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan. Virus dapat berkembang biak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.


F. PATHWAY MORBILI (CAMPAK)


G. Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik local, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuclear, kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel mononuclear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-helper) yang rentan terhadap infeksi, turut aktif membelah.
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah focus infeksi yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus.
Pada hari ke 9-10, focus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis dari system saluran nafas diikuti dengan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada system saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respon delayed hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tampak pada kasus yang mengalami deficit sel-T.
Focus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian dengan imunofluoresens dan histologik menunjukkan adanya antigen campak dan diduga terjadi suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat menyebabkan gizi kurang (Sumarmo, 2015).
Hari Patogenesis
0
Virus campak dalam droplet terhirup dan melekat pada permukaan konjungtiva. Infeksi terjadi di sel epitel dan virus bermultiplikasi.
1-2 Infeksi menyebar ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Virus bermultiplikasi di epitel saluran napas, virus melekat pertama kali, juga di sistem retikuloendotelial regional dan kemudian menyebar
5-7 Viremia sekunder
7-11 Timbul gejala infeksi di kulit dan saluran napas
11-14 Virus terdapat di darah, saluran napas, kulit, dan organ-organ tubuh lain
15-17 Viremia berkurang dan menghilang
Sumber: Halim (2016). Jurnal Campak pada Anak vol.43 no.3

H. Komplikasi
Pada penyakit morbili terdapat resistensi umum yang menurun sehingga data terjadi energi (uji berkulin yang semula positif berubah menjadi negative). Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi  komplikasi sekunder seperti otitis media akut, ensefalitis, bronkopneumonia.
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus morbili atau oleh pneumococcus, Streptopcoccus, Stayphylococcus. Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematin bayi yang masih muda, anak dengan malnutrisi energy protein, penderita penyakit menahun (missal tuberculosis ), leukemia, dan lain lain. Oleh karena itu pada keadaan tertentu perlu dilakukan pencegahan.
Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegia, paraplegia, afasia, gangguan mental, neuritis optika dan ensefalitis.
Ensefalitis morbili dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang menderita morbili atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin virus morbili hidup (ensefalitis morbili akut), pada penderita yang sedang mendapat pengobatan imunosupresif (immunosuppressive measles encephalopathy)  dan sebagai subacute sclerosing panenchepalitis (SSPE).
Ensefalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksanten, angka kematian rendah dan sisa deficit neurologis sedikit. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus, sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000 dosis
SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Penyakit ini progresif dan fatal serta ditemukan pada anak dan orang dewasa. Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba- tiba seperti kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang dan koma. Perjalanan klinis lambat dan sebagian besar penderita meninggal dunia dalam 6 bulan- 3 tahun setelah terjadi gejala pertama. Meskipun demikian remisi spontan masih bisa terjadi.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti- bukti bahwa virus morbili memegang peranan dalam patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili sebelum umur 2tahun sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun setelah  morbili. SSPE yang terjadi setelah vaksinasi morbili didapatkan kira- kira 3 tahun kemudian. Kemungkinan penderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5 – 1,1 tiap 10juta, sedangkan setelah infeksi morbili sebesar 5,2 – 9,7 tiap 10 juta. Immunosuppressive measles encephalopathy didapatkan pada anak dengan morbili yang menderita defisiensi imunologik karena keganasan atau karena pemakaian obat- obatan imunosupresif. Diafrika didapatkan kebutaan sebagai komplikasi morbili pada anak yang menderita malnutrisi. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI).

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Serologi
Pada kasus atopic, dapat dilakukan pemeriksaan serologi untuk memastikannya.    Tehnik pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah fiksasi complement, inhibisi hemaglutinasi, metode antibody fluoresensi tidak langsung.
2. Patologi anatomi
Pada organ limfoid dijjumpai: hyperplasia folikuler yang nyata, senterum   germinativum yang besar, sel Warthin-Finkeldey (sel datia berinti banyak yang tersebar secara acak, sel ini memiliki nucleus eosinofilik dan jisim inklusi dalam sitoplasma, sel ini merupakan tanda patognomonik sampak). Pada bercak koplik dijumpai : nekrosis, neutrofil, neovaskularisasi.
3. Darah tepi
Jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri.
4. Pemeriksaan antibody IgM anti campak.
Pemeriksaan untuk komplikasi
5. Ensefalopati / ensefalitis (dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal, kadar elektrolit darah dan analisis gas darah), enteritis (feces lengkap), bronkopneumonia (dilakukan pemeriksaan foto dada dan analisis gas darah).

J. Pencegahan
1. Imunisasi
a. Imunisasi aktif
Ini dilakukan dengan pemberian “Live attenuated measles vaccine“. Mula-mula digunakan strain Edmonston B, tetapi karena “strain” ini menyebabkan panas tinggi dan eksantem ada hari ketujuh sampai hari kesepuluh setelah vaksinasi, maka strain Edmonston B diberikan bersama-sama dengan globulingama pada lengan yang lain.
Sekarang digunakan starin Schwarz dan Moraten dan tidak diberikan globulin-gama. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan serologis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan untuk memberikan vaksin morbili tersebut pada anak berumur 15 bulan yaitu karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat nenbentuk antibody secara baik karena masih ada antibody dari ibu. Tetapi dianjurkan pula agar anak yang tinggal didaerah endemis morbili dan terdapat banyak tuberculosis diberikan vaksinasi pada umur 6 bulan dan revaksinasi dilakukan pada umur 5 bulan. Diketahui dari penelitian Linnemann dkk. (1982) pada anak yang divaksinasi sebelum umur 10 bulan tidak ditemukan antibody, begitu pula setelah revaksinasi kadang-kadang titer antibody tidak naik secara bermakna. Di Indonesia saat ini masih dianjurkan memberikan vaksin morbili pada anak berumur 9 bulan ke atas.  Vaksin morbili tersebut di atas dapat pula diberikan pada orang yang alergi terhadap telur, karena vaksin morbili ini ditumbuhkan dalam biakan jaringan janin ayam yang secara antigen adalah berbeda dengan protein telur. Hanya bila terdapat suatu penyakit alergi sebaiknya vaksinasi ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin morbili juga dapat diberikan kepada penderita tuberculosis aktif yang sedang mendapat tuberkulostatika. Vaksin morbili tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, anak dengan tuberculosis yang tidak diobati, penderita leukemia dan anak yang sedang mendapat pengobatan imunosupresif.
Vaksin morbili dapat diberikan sebagai vaksin morbili saja atau sebagai vaksin measles- mumps- rubella (MMR)
Di Indonesia digunakan pula vaksin morbili buatan perum biofarma yang terdiri dari virus morbili yang hidup dan sangat dilemahkan, strain Scwarz dan ditumbuhkan dalam jaringan janin ayam dan kemudian di beku- keringkan. Tiap dosis dari vaksin yang sudah dilarutkan mengandung virus morbili tidak kurang dari 1.00 TCID50 dan neomisin B sulfat tidak lebih dari 50 mikrogram.
Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml pada umur 9 bulan. Terjadi anergi terhadap tuberculin selama 2 bulan setelah vaksinasi. Bila seseorang telah mendapat immunoglobulin atau transfuse darah maka vaksinasi dengan vaksin morbili harus ditangguhkan sekurang – kurangnya 3 bulan. Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada anak dengan infeksi saluran pernafasan akut atau infeksi akut lainnya yang disertai demam, anak dengan defisiensi imunologik, anak yang sedang diberi pengobatan intensif dengan obat imunosupresif.
b. Imunisasi pasif
Baik diketahui bahwa morbili yang perjalanan penyakitnya diperingan dengan pemberian globulin- gama dapat mengakibatkan ensefalitis dan penyebaran proses tuberculosis. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985)

2. Imunisasi Campak
Pada tahun 1954, Peebles dan Enders pertama kali berhasil mengembangbiakkan virus campak pada kultur jaringan. Virus campak tersebut berasal dari darah kasus campak bernama David Edmonston.
Saat ini ada beberapa macam vaksin campak,
a. Monovalen
b. Kombinasi vaksin campak dengan vaksin rubella (MR)
c. Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)
d. Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV)

Telah dikeluarkan Permenkes no 42 tahun 2013 mengenai pemberian imunisasi untuk campak diberikan 2 kali, yaitu pada umur 9 bulan sebagai imunisasi dasar dan pada umur 2 tahun sebagai imunisasi lanjutan. Kemudian pada anak usia sekolah dasar, diberikan imunisasi campak yang ketiga pada Bulan imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak boleh diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mereka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anakimunokompromais yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak bisa mendapat imunisasi campak.
Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cukup  yang tinggi bersama-sam dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai antibody maternal hilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian campak. Pada anak-anak di Negara berkembang, antibody maternal akan hilang pada usia 9 bulan, dan pada anak-anak di Negara maju setelah 15 bulan.
Dosis dan cara pemberian
a. Dosis vaksin campak 0,5 ml
b. Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun dapatdiberikan secara intramuscular
c. Imunisasi campak diberikan lagi pada umur 2 tahun masuk sekolah SD (program BIAS) (Rezeki, Sri, 2014)

3. Reaksi KIPI
REAKSI KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) yang dapat terjadi pasca-vaksinasi campak berupa demam pada 5-15% kasus, yang dimulai pada hari 5-6 sesudah imunisasi, dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, yang timbul pada hari ke 7 sampai 10 sesudah imunisasi dan berlangsung 2-4 hari. Reaksi KIPI dianggap berat jika ditemukan gangguan system saraf pusat, seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca-imunisasi. Risiko kedua efek samping tersebut dalam 30 hari sesudah imunisasi diperkirakan 1 di antara 1.000.000 dosis vaksin.
Reaksi KIPI vaksinasi MMR yang dilaporkan pada penelitian mencakup 6000 anak berusia 1-2 tahun berupa malaise, demam, atau ruam 1 mingu setelah imunisasi dan berlangsung 2-3 hari (Soegijanto, 2011).
Vaksinasi MMR dapat menyebabkan efek samping demam, terutama karena komponen campak. Kurang lebih 5-15% anak akan mengalami demam >39,4oC setelah imunisasi MMR. Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12 hari setelah imunisasi, ada yang selama 1-2 hari. Dalam 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak, ensefalitis pasca-imunisasi terjadi pada <1/1.000.000 dosis (Soegijanto, 2011).

K. PENATALAKSANAAN
Menurut Halim dalam Jurnal Campak pada Anak (2016): Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah baring, antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan sampai setiap 4 jam), cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A. Vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang meningkatkan respon antibody terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi diare dan pneumonia. Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:
a. 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
b. 100.000 IU pada anak umur 6-11 bulan
c. 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
d. Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai umur penderita diberikan antara minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejala defisiensi vitamin A
Pada campak dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia bacterial dapat diberi antibiotic. Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai derajat dehidrasinya.
Suplemen vitamin A pada situasi khusus:
1. Bila ada kejadian luar biasa (KLB), campak, dan infeksi lain, maka suplementasi vitamin A diberikan pada:
a. Seluruh balita yang ada di wilayah tersebut diberi 1 (satu) kapsul vitamin A dengan dosis sesuai umurnya.
b. Balita yang telah menerima kapsul vitamin A dalam jangka waktu kurang dari 30 hari (sebulan) pada saat KLB, maka balita tersebut tidak dianjurkan lagi untuk diberi kapsul.
Untuk pengobatan xerophtalmia, campak, dan gizi buruk: Bila ditemukan kasus xerophtalmia, campak, dan gizi burul (marasmus, kwashiorkor, dan marasmik kwashiorkor), pemberian vitamin A mengikuti aturan sebagai berikut:
a. Saat ditemukan: Berikan satu kapsul vitamin A merah atau biru sesuai umur anak.
b. Hari berikutnya: Berikan lagi satu kapsul vitamin A merah atau biru sesuai umur anak.
c. Dua minggu berikutnya: Berikan satu kapsul vitamin A merah atau biru sesuai umur anak. (Kemenkes RI Bina Gizi Masyarakat, 2010)

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MORBILI

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas diri
2. Riwayat Imunisasi
3. Kontak dengan orang yang terinfeksi
4. Pemeriksaan Fisik :
a. Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia
b. Kepala : sakit kepala
c. Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan hidung (pada stad eripsi ).
d. Mulut & bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa pahit.
e. Kulit : Permukaan kulit ( kering ), turgor kulit, rasa gatal, ruam makuler pada leher, muka, lengan dan kaki (pada stad. Konvalensi), evitema, panas (demam).
f. Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, renchi, sputum.
g. Tumbuh Kembang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/ imunisasi.
h. Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare.
i. Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan
j. Keadaan Umum : Kesadaran, TTV

Pemeriksaan darah tepi hanya ditemukan  adanya leukopeni. Dalam sputum, sekresi nasal, sedimen urine dapat ditemukan adanya multinucleated giant sel yang khas. Pada pemeriksaan serologi dengan cara hematglutination inhibition tesdan compelement fiksatior tes akan ditemukan adanya antibody yang spesifik dalam 1 – 3 hari setelah timbulnya rash dan mencapai puncaknya pada 2-4 minggu kemudian. (Nurarif & Kusuma, 2015).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
2. Ketidakefektifsn bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret sekret menumpuk
3. Defisit volume cairan
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

1 Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit

NOC : Thermoregulation
Kriteria Hasil :
Suhu tubuh dalam rentang normal
Nadi dan RR dalam rentang normal
Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
Fever treatment
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor IWL
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik
Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
Selimuti pasien
Lakukan tapid sponge
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil

NIC:
Temperature regulation
Monitor suhu minimal tiap 2 jam
Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
Monitor TD, nadi, dan RR
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan
Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan
Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
Berikan anti piretik jika perlu

Vital sign Monitoring
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
Monitor kualitas dari nadi
Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Monitor suara paru
Monitor pola pernapasan abnormal
Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
Monitor sianosis perifer
Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

2 Ketidakefektifsn bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret sekret menumpuk
NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Aspiration Control

Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
Airway suction
Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien
Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.

NIC:
Airway Management
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
Pasang mayo bila perlu
Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2

3 Defisit volume cairan
NOC:
- Fluid balance
- Hydration
- Nutritional Status : Food and

NIC:
Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. defisit volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:
- Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal,
- Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
- Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
- Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
- Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal
- Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal
- pH urin dalam batas normal
- Intake oral dan intravena adekuat NIC :
- Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
- Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
- Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan ( BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein  )
- Monitor vital sign setiap 15menit – 1  jam
- Kolaborasi pemberian cairan IV
- Monitor status nutrisi
- Berikan cairan oral
- Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50 – 100 cc/jam )
- Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
- Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
- Atur kemungkinan tranfusi
- Persiapan untuk tranfusi
- Pasang kateter jika perlu
- Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
NOC :
Nutritional Status : food and Fluid Intake

Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti Nutrition Management
Kaji adanya alergi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
Berikan substansi gula
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

NIC:
Nutrition Monitoring
BB pasien dalam batas normal
Monitor adanya penurunan berat badan
Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
Monitor lingkungan selama makan
Jadwalkan pengobatan  dan tindakan tidak selama jam makan
Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
Monitor mual dan muntah
Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht
Monitor makanan kesukaan
Monitor pertumbuhan dan perkembangan
Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
Monitor kalori dan intake nuntrisi
Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral.
Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet

Subscribe to receive free email updates: